Sabtu, 22 Februari 2014

Cerpen: Memories


Ini sebuah cerpen yang aku buat sepenuh hati.. sepenuh hati katanya.. hahaha *plakk
Ini cerpen pertama waktu aku buat di SMA tapi sudah aku remark banyak jadi lebih baik *menurutku.
Sebenernya sih punya tujuan lain, gara-gara pengen ikut proyek menulisnya @nulisbuku dengan temanya "Love Never Fails". Udah 1100 lebih penulis-penulis lain ngirim cerpennya, walaupun aku masih amatir juga tata bahasanya kurang pas. Sepertinya saya harus belajar banyak dan cuma ingin berbagi cerita yang aku buat.. :) Selamat menikmati..

Memories


Musim gugur sudah tiba, pohon-pohon mulai menggugurkan daunnya yang mengkuning di jalanan yang terlihat begitu indah di Seoul. Cho In Jung memasukan kamera SLRnya ke dalam tas dan pergi menjelajahi beberapa tempat, berharap dia bisa mendapatkan foto-foto yang indah pada hari itu. Angin yang berhembus dengan tenang menembus sela-sela rambut In Jung yang panjang tergerai seadanya. Hari ini In Jung tidak akan pergi jauh dari rumahnya di Yongsan seperti biasanya, dia tidak ingin membuat kakak perempuan satu-satunya tersebut khawatir dengannya. Orang tua mereka sudah lama meninggalkan mereka sendiri didunia ini. In Jung tidak begitu merasa kesepian karena dia tahu hobinya sebagai fotografer amatiran membuatnya tahu dunia itu begitu indah dengan alam dan seisinya yang selalu membuat dia tersenyum melihatnya. Sekitar satu jam berjalan In Jung mengeluarkan kameranya lalu memotret jalanan yang mulai padat dengan kendaraan pagi itu. Sibuk memotret ini dan itu yang In Jung rasakan menarik, tiba-tiba kepala In Jung terasa pusing lalu butiran-butiran keringat keluar dari wajahnya yang bersih itu. Pandangan In Jung mulai kabur dan tak terarah langkanya hingga ke tengah jalan.
            “Teeeettttttt!!!!” Sebuah truk pengangkut mobil menuju ke arah In Jung dengan cepatnya. In Jung yang awalnya linglung dengan terkejut mendengar bunyi bel truk tersebut. Dengan sigap pengemudi truk menginjak rem dalam-dalam. Hanya berjarak kurang lebih 10 cm di depan matanya truk itu berhenti, In Jung serasa mati rasa tubuh kurusnya itu langsung terduduk dijalanan.
          “Agashii[1]! Kau ingin mati ya!” Teriak pengemudi pria itu yang keluar dari truk dan menghampiri In Jung. In Jung yang masih kaget itu menahan dadanya yang sakit.
               “Heuukk..heuk..” Nafas In Jung mulai tidak beraturan,dia tidak mempedulikan omelan Ahjushi [2]tersebut. Tangan kanannya terus memegang dadanya yang semakin sesak, tak kuat lagi In Jung pun pingsan. Paman pengemudi tersebut segera menelpon ambulan.
            Kurang lebih 3 jam In Jung tak sadarkan diri, kakaknya In Yeong terus menemani adiknya yang sedang terbaring di ranjang. Walaupun In Jung tidak terluka tetapi dia sakit, sesak napasnya kambuh terlebih lagi kali ini In Jung terkena tipus. Sekali lagi kakaknya merasa bersalah karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik. Dibalik lamunan kakaknya, tanpa sadar In Jung mulai membuka matanya dengan perlahan dan melihat wajah kakaknya yang terlihat sedih.
Melihat mata adiknya yang terbuka, In Yeong langsung mengomeli In Jung. “In Jung, kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit lagi? Kalau kau keluar pakailah pakaian yang tebal, kakak sudah sering bilang kan? Kau juga tidak membawa inhalasi.”
            “Emm” gumam In Jung sambil menganggukkan kepala.
            “Hmm, kalau begitu kakak pulang dulu mengambil beberapa baju dan akan kembali nanti. Ya?” Ucap kakak In Jung lalu pergi meninggalkan ruangan.
            In Jung membuka matanya dan melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kakaknya tertidur lelap di sofa, dengan hati-hati dia pergi meninggalkan ruangan sambil menggerek infusnya dan mengambil beberapa koin diatas meja. Merasa gerah dan kerongkongannya kering, In Jung mencari mesin minuman yang ada d rumah sakit itu. Malam ini lorong begitu sepi hanya beberapa perawat saja yang mondar mandir di beberapa kamar pasien lainnya. Tak berjalan jauh In Jung menemukan mesin minuman dan memasukkan beberapa koin lalu memencet Cappuchino. Beberapa detik kemudian mesin itu tidak mengeluarkan kaleng minumannya. In Jung pun bingung dan memencet berkali-kali mesin itu tapi tetap saja tidak keluar.
            “Butuh bantuan?” Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut hitamnya yang sedikit berantakan memakai pakaian pasien yang sama dengan In Jung sambil membawa tiang infuse dan memegang kaleng minuman di tangan kanannya.
            “Bruk..brukk..brukk.” Laki-laki itu mengetuk dengan keras mesinnya dan sekaleng cappuchino pun keluar. In Jung segera mengambilnya dan mengucapkan terimakasih.Sembaring menikmati sekaleng cappuchino mereka duduk di samping mesin minuman itu dan mengobrol bersama.
            “Gamsahamnida[3], tetapi bagaimana kau tahu kalu mesin itu bermasalah?” Tanya In Jung
            “Sama-sama, setiap malam jika tidak ketahuan keluarga atau suster yang mengenaliku aku selalu mencari minuman disini. Aku sudah 5 hari berada dirumah sakit ini.”
            “4 hari? Memangnya kau sakit apa?” dengan mata terbelalak In Jung bertanya kembali.
            Sejenak laki-laki itu mengalihkan wajahnya dari In Jung sambil menghela nafas “Emm aku sakit tipus.”
            “Oh ya? Aku juga sakit tipus dan aku tertidur seharian di kamar tadi. Hmm.. karena aku haus dan gerah jadi aku pergi jalan-jalan. Hehehe, hmm maaf spertinya aku terlalu banyak bicara ya?”
            “Haha, tidak juga. Sepertinya kau adalah anak yang ceria. Tunggu? Apa yang kau lakukan di jalan tadi?” balas laki-laki itu dengan ramah.
            “Aku sedang sibuk memotret pemandangan di musim gugur ini. Tapi kenapa kau juga bisa terkena tipus?”
“Hmm mungkin aku kelelahan saja, kau bilang kau memotret? Apa hobimu sebagai fotografer?”
“Hehehe.. tidak juga, jangan sebut aku sebagai fotografer. Aku ini masih amatiran. Hehehe.” Canda In Jung.
Malam itu mereka berdua mengobrol dengan akrabnya, membicarakan diri mereka masing-masing. Jam sudah menunjukkan angka 12 kurang 10 menit, mereka mengakhiri pembicaraan dan kembali ke kamar masing-masing.
“Kamarmu nomor berapa?” Tanya laki-laki itu.
“Oh kamarku? Kamarku.. aku tidak tahu berapa, ahh gawat.. tapi sepertinya aku masih ingat jalan yang tadi aku lalui.”
“Kalau begitu aku akan menemanimu menemukan kamarmu.”
“Wahh terimakasih ya. Maaf kalau membuatmu repot.”
Tak jauh setelah berjalan melewati lorong-lorong mereka tiba di lorong ujung dan hanya ada 2 kamar yang saling berhadapan.
“Sepertinya ini kamarku.” Ucap In Jung.
“Kamarmu disini? Ini kamarku.” Laki-laki itu menunjuk kamar yang berhadapan dengan kamar In Jung.
“Oh benarkah? Wahh kita bertetangga ya.. kalau begitu aku masuk dulu ya.. terimakasih.”
“Eh tunggu!” hendak melangkahkan kaki ke kamarnya In Jung langsung berbalik menghadap laki-laki itu. “Namamu? Namamu siapa?” Tanya laki-laki itu.
“Oh iya, sangking asyiknya mengobrol kita belum berkenalan yah. Namaku Cho In Jung. Namamu?”
“Namaku Kang Dong Ho. Senang berjumpa denganmu.”
“Baiklah Kang Dong Ho, selamat malam tetangga. Sampai bertemu lagi besok..” ucap ramah In Jung. Dong Ho hanya bisa tersenyum memperhatikan gadis itu masuk dalam kamarnya. Malam itu Dong Ho masih memikirkan In Jung, gadis yang baru dikenalnya dan membuat Dong Ho terpesona dengan sifatnya yang ramah dan supel. Begitu juga dengan In Jung, In Jung merasa laki-laki itu baik dan lembut juga jarang dijumpai olehnya. Hari demi hari kurang lebih dua minggu  mereka menjadi akrab dan selalu bersama, In Jung menemui Dong Ho di kamarnya kadang juga Dong Ho ke kamar In Jung.
“Dong Ho?” Sapa In Jung yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Dong Ho.
“Oh In Jung-ah”
“Aku datang, hey kau berjanji akan mengajakku ke suatu tempat. Dimana?”
“Hahaha, baiklah ayo kita kesana.”
In Jung membantu Dong Ho mendorong tiang infusnya memasuki lift dan menuju lantai yang paling atas. Ketika mereka tiba, sebuah pintu terbuat dari besi dibuka oleh Dong Ho. Dengan mata yang berbinar-binar In Jung terkejut melihat pemandangan kota dimalam hari begitu indah. Lampu-lampu kota yang menerangi malam berkelip-kelip, ditambah menara N tower yang begitu terang. In Jung tidak berhenti memandanginya.
“Maaf ya aku baru memberitahumu sekarang, balkon ini tidak begitu luas tapi pemandangannya di malam hari begitu indah.”
“Iya tidak apa-apa, ini sudah cukup. Aku sangat senang sekali.”
“Jadi, apakah kau akan pergi ke Belanda?”
“Iya pasti, aku sudah terpilih menjadi peserta lomab fotografi itu. Hanya 2 minggu saja aku disana. Setelah 2 minggu itu aku akn langsung menemuimu. Aku janji, sekarang kau harus sembuh dulu.”
“Kalau begitu, 2 minggu lagi tangal 18 Oktober  kita bertemu di taman Namsan jam 9 pagi. Bagaimana? Aku akan sembuh In Jung” nada tegas keluar dari mulut Dong Ho.
“Tta..tapi Dong…” belum selesai bicara tangan In Jung ditarik oleh Dong Ho. Dengan lembutnya Dong Ho mencium bibir In Jung. In Jung merasakan bibir Dong Ho yang basah akan air matanya yang menetes. Malam itu adalah malam yang indah bagi mereka, walaupun baru mengenal selama 16 hari, mereka begitu yakin satu sama lain. 16 hari itu juga mereka melewati hari-harinya bersama.
***
            Dua minggu kemudian tepat tanggal 18 Oktober In Jung tiba di Seoul jam 8 pagi. In Jung bergegas menuju taman Namsan dengan membawa kameranya. Sekitar 30 menit perjalanan dengan menaiki bus, dia pun sampai dengan semangat. In Jung mengeluarkan kameranya dan memotret pemandangan sekitar. Di balik lensa kameranya In Jung melihat banyak anak kecil yang sedang bermain,melihat dedaunan yang jatuh hingga tak tersisa lagi diranting pohonnya,dan seseorang yang berdiri bersandar di pohon itu. Seorang laki-laki mengenakan hem putih yang begitu serasi dengan kulitnya yang putih bersih dipadukan dengan celana jeans hitamnya semakin memperlihatkan tubuh gagahnya. “Klik..” In Jung memotret laki-laki itu, baru beberapa detik In Jung melewatkan pandangannya laki-laki itu sudah pergi.
            “Hei.”Seorang laki-laki dengan jari-jarinya yang panjang menepuk pundak kiri In Jung. In Jung membalikkan badannya dan melebarkan matanya. Dia sungguh terkejut apa yang dilihatnya. Laki-laki itu adalah Dong Ho. In Jung tersenyum bahagia melihat Dong Ho begitu berbeda saat dia masih berada di rumah sakit dua minggu yang lalu.
            “Hei,kau berpakaian rapi sekali terlihat berbeda Dong Ho.” Kata In Jung yang masih belum melepaskan pandangannya ke wajah Dong Ho.
            “Tentu saja aku harus berpakaian rapi, hari ini adalah D-day, bagaimana? Aku menepati janjiku kan? Ayo kita pergi”
            Pagi itu mereka berdua berjalan menyusuri area taman yang tidak begitu ramai. Bergandengan tangan, bercanda dan mengobrol sepuas hati mereka. Setelah itu In Jung mengajak Dong Ho ke kedai es krim yang tak jauh dari area taman.
            “Hari ini aku yang traktir semua, ini balas budiku karena meninggalkanmu selama dua minggu kemarin. Dong Ho, kita belum berfoto bersama.” Ajak In Jung.
            In Jung menggerek kursinya disamping kursi Dong Ho dan mulai berfoto bersama. Orang-orang di dalam kedai tersebut sedikit menahan tawa dan membicarakan In Jung.”Kenapa orang-orang melihat kita? Apa yang salah?” Tanya In Jung
            “Karena kau cantik.” Balas Dong Ho dengan senyuman manisnya. Muka In Jung langsung memerah mendengar kata-kata Dong Ho itu.
Kurang lebih satu jam mereka pergi meninggalkan kedai es krim dan pergi melihat film komedi. Bioskop terlihat ramai dengan banyaknya orang yang antre di bagian tiket. Lalu mereka melihat film komedi tersebut dengan senangnya sambil tertawa, Dong Ho yang tersenyum mengalihkan pandangannya ke wajah In Jung yang tertawa. Begitu cantik saat In Jung tertawa, membuat Dong Ho merasa bahagia sekali. Saat film usai mereka pergi ke festival kuliner dan mencicipi setiap makanan yang dijual disana. Tidak terasa malam pun tiba, saatny In Jung harus pulang karena seharian dia belum bertemu dan membaritahu kakaknya kalau dia sudah pulang. Tepat jam 7 lebih 30 menit In Jung dan Dong Ho naik bus menuju rumah In Jung, sepanjang perjalanan In Jung menggenggam tangan Dong Ho dan bersandar di pundaknya.
Sesampai di depan rumah In Jung, Dong Ho ingin cepat pulang. “Kau yakin tidak ingin mampir dulu? Atau bertemu kakakku sebentar?” Tawar In Jung.
“Hmm lain kali saja ya.. aku harus segera pulang, terimakasih untuk hari ini In Jung.” Ucap Dong Ho lalu mengecup kening In Jung. In Jung langsung tersenyum salah tingkah sambil menggaruk-garuk lehernya.
“Baiklah kalau begitu, terimakasih juga Dong Ho hari ini begitu menyenangkan bagiku.”
Dong Ho membalikkan badan dan pergi menjauhi In Jung. In Jung yang masih berdiri terus memperhatikan Dong Ho yang lama kelamaan sudah tak terlihat lagi.
“Aku pulang??” Suara In Jung terdengar oleh kakaknya.
“Kemana saja seharian? Aku kira pagi ini kau datang.”
“Maaf kak, seharusnya aku memberitahu kakak dulu tapi tadi mendadak aku pergi bertemu Dong Ho.”
“Apa? Siapa? Dong Ho? Temanmu yang dulu di rumah sakit itu?” Tanya kakak In Jung dengan serius
“Iya kak dia, aku pergi bersamanya seharian. Aku pergi ke taman,makan es krim,menonton film dan pergi ke food festival. Hari ini adalah hari yang sangat indah dan membahagiakan dalam hidupku.”
“Apa? Tidak mungkin In Jung.. Dong Ho sudah meninggal karena kanker otaksaat kau berada di Belanda.”
“Hah? Kakak bercanda, ini lihat foto-foto kami hari in.i. Lagi pula dia bukan terkena penyakit itu tapi tipus sama sepertiku” Dengan cepat In Jung memperlihatkan foto-foto hsil jepretannya hari ini bersama Dong Ho. Saat jari In Jung mulai memencet tombol preview, In Jung terkejut bukan main, foto-foto itu sekedar foto biasa. Foto sebuah pohon tanpa laki-laki berhem putih, foto In Jung yang sendiri di kedai es krim dan foto-foto lainnya tanpa sesosok laki-laki itu. Tangan In Jung mulai gemetar, tubuhnya lemas dan dadanya mulai sesak. Mata In Jung memerah dan membendung air matanya. Kakaknya segera mengambilkan inhalasi untuk membantu pernapasan In Jung yang mulai tidak beraturan.
“Tidak mungkin!” gumam In Jung yang sudah tidak sanggup membendung air matanya. Dia segera bangkit dari duduknya dan pergi mencari Dong Ho yang mungkin saja belum jauh pergi pikirnya. In Jung terus meneriakkan nama Dong Ho, berharap laki-laki itu muncul dan menghampirinya. Kakak In Jung yang tidak tega melihat adiknya seperti itu segera mengambil mobil dan mengantarkannya ke rumah sakit saat In Jung dirawat disana. Sesampai di rumah sakit In Jung berlari mencari suster yang merawat Dong Ho. Setelah bertanya-tanya akhirnya dia bertemu dengan suster Jang.
“Oh teman Dong Ho ya? Sebelum Dong Ho meninggal dia menitipkan ini untukmu. Saat kau bersamanya keadaananya semakin membaik, dia menjadi orang yang lebih semangat untuk melawan kanker yang bersarang di otaknya. Walaupun kemungkinannya kecil dia terus berusaha. Aku kira dia akan terus hidup dan mengalahkan kanker itu. Dia berpesan kepadaku untuk memberikannya setelah tanggal 18 oktober ini.” Suster Jang menjelaskan semuanya.
In Jung yang hanya bisa melamun dan mendengarkan cerita suster itu mulai beranjak pergi menuju lift dan naik ke lantai paling atas. Air mata In Jung mengalir tetes demi tetes saat dia berjalan ke balkon dan duduk membuka surat dari Dong Ho.

“Hai putri periang.. Bagaimana? Aku menepati janjiku kan tanggal 18 oktober ini. Aku selalu menunggumu. Sehari saja tidak bertemu denganmu rasanya begitu lama berada di rumah sakit ini. In Jung maafkan aku ya.. Waktu itu aku berbohong tentang penyakitku ini, aku tidak ingin orang-orang mendekatiku dengan rasa kasihan dan terus mengucapkan kata-kata sabar dan semangat. Itu hanya akan membuat aku menyesal. Tapi semenjak aku bertemu denganmu aku tidak merasakan sakit apapun. Aku senang bisa memberikan ciuman pertamaku untukmu, butuh keberanian dan waktu yang tepat untuk melakukannya.. hehehe.. In Jung aku tidak ingin kau menangis memdengar ini. Aku ingin melihatmu selalu tersenyum dengan itulah aku merasa bahagia ketika kematian datang menjemputku. Aku mencintaimu In Jung.. Biarkan hari ini menjadi kenangan untuk kita berdua..”
Air mata In Jung semakin deras membasahi wajahnya. Dia tidak kuat lagi menahannya, In Jung berteriak memanggil nama Dong Ho. Dia merasa bodoh dan bersalah membiarkan Dong Ho menunggu kedatangannya dan lebih naïf lagi In Jung sendiri tidak tahu kalau Dong Ho terkena kanker otak. In Jung menjerit dan menangis di balkon itu sendirian hingga tak kuat akhirnya dia pingsan. Keesokan harinya In Jung dengan wajah bengak dan matanya yang merah pergi ke makam Dong Ho bersama kakaknya. Kali ini In Jung tak mau menangis di depan makam Dong Ho, dia ingin lebih tabah menerima apa yang menjadi takdirnya yaitu harus berpisah bersama Dong Ho.
“Terimakasih Dong Ho, selamat tinggal dan aku juga mencintaimu. Walaupun hari itu kau menjadi malaikat sementara untuk membuatku bahagia.” Ucap In Jung sambil meletakkan mawar putih di atas makam Dong Ho. In Jung mulai meninggalkan makam Dong Ho dengan seutas senyum dibibirnya.
The End


@fann10y



[1] Nona
[2] Paman
[3] Terimakasih (formal)


Sekian, mohon kritik dan sarannya yaa.. :)

7 komentar:

  1. “Sama-sama, setiap malam jika tidak ketahuan keluarga atau suster yang mengenaliku aku selalu mencari minuman disini. Aku sudah 5 hari berada dirumah sakit ini.”
    “4 hari? Memangnya kau sakit apa?” dengan mata terbelalak In Jung bertanya kembali.

    5 atau 4 hari? :D

    Menarik ceritanya. Feel-nya dapet! Terus menulis yahhh. Karena sesuatu yang bagus tidak dihasilkan secara instan lhoo. Butuh latihan dan konsistensi. Keep writing! ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh yaa?? >,< wahh lagi ngantuk kayaknya tuh mbak... hehehe...iya butuh latihan yang banyak.. ^^ okey2 mbak.. makasih yaaa.. :3

      Hapus
  2. Dijadiin beberapa part, Fan, magep2 nih bacanya :D
    Keren loh bisa bikin segini panjangnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha... seharusnya by.. :P gampang dah, ntar aku edit lagi.. hihihi

      Hapus
  3. keren fan aku merinding fan kasih lanjutannya dunk

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya za, mkasih yaa tunggukisah2 berikutnya.. :)

      Hapus
    2. ayoooooook fan aku tunggu cerita ini Memories Part 2 nya sumpah aku penasaran banget semenjak in Jung gak bersama lagi sama Dong Ho :')

      Hapus