Ini sebuah cerpen yang aku buat sepenuh hati.. sepenuh hati katanya.. hahaha *plakk
Ini cerpen pertama waktu aku buat di SMA tapi sudah aku remark banyak jadi lebih baik *menurutku.
Sebenernya sih punya tujuan lain, gara-gara pengen ikut proyek menulisnya @nulisbuku dengan temanya "Love Never Fails". Udah 1100 lebih penulis-penulis lain ngirim cerpennya, walaupun aku masih amatir juga tata bahasanya kurang pas. Sepertinya saya harus belajar banyak dan cuma ingin berbagi cerita yang aku buat.. :) Selamat menikmati..
Memories
Musim gugur sudah tiba, pohon-pohon
mulai menggugurkan daunnya yang mengkuning di jalanan yang terlihat begitu
indah di Seoul. Cho In Jung memasukan kamera SLRnya ke dalam tas dan pergi
menjelajahi beberapa tempat, berharap dia bisa mendapatkan foto-foto yang indah
pada hari itu. Angin yang berhembus dengan tenang menembus sela-sela rambut In
Jung yang panjang tergerai seadanya. Hari ini In Jung tidak akan pergi jauh
dari rumahnya di Yongsan seperti biasanya, dia tidak ingin membuat kakak
perempuan satu-satunya tersebut khawatir dengannya. Orang tua mereka sudah lama
meninggalkan mereka sendiri didunia ini. In Jung tidak begitu merasa kesepian
karena dia tahu hobinya sebagai fotografer amatiran membuatnya tahu dunia itu
begitu indah dengan alam dan seisinya yang selalu membuat dia tersenyum
melihatnya. Sekitar satu jam berjalan In Jung mengeluarkan kameranya lalu memotret
jalanan yang mulai padat dengan kendaraan pagi itu. Sibuk memotret ini dan itu
yang In Jung rasakan menarik, tiba-tiba kepala In Jung terasa pusing lalu
butiran-butiran keringat keluar dari wajahnya yang bersih itu. Pandangan In
Jung mulai kabur dan tak terarah langkanya hingga ke tengah jalan.
“Teeeettttttt!!!!”
Sebuah truk pengangkut mobil menuju ke arah In Jung dengan cepatnya. In Jung
yang awalnya linglung dengan terkejut mendengar bunyi bel truk tersebut. Dengan
sigap pengemudi truk menginjak rem dalam-dalam. Hanya berjarak kurang lebih 10
cm di depan matanya truk itu berhenti, In Jung serasa mati rasa tubuh kurusnya
itu langsung terduduk dijalanan.
“Agashii!
Kau ingin mati ya!” Teriak pengemudi pria itu yang keluar dari truk dan
menghampiri In Jung. In Jung yang masih kaget itu menahan dadanya yang sakit.
“Heuukk..heuk..”
Nafas In Jung mulai tidak beraturan,dia tidak mempedulikan omelan Ahjushi tersebut. Tangan kanannya terus memegang dadanya yang semakin sesak, tak kuat
lagi In Jung pun pingsan. Paman pengemudi tersebut segera menelpon ambulan.
Kurang
lebih 3 jam In Jung tak sadarkan diri, kakaknya In Yeong terus menemani adiknya
yang sedang terbaring di ranjang. Walaupun In Jung tidak terluka tetapi dia
sakit, sesak napasnya kambuh terlebih lagi kali ini In Jung terkena tipus.
Sekali lagi kakaknya merasa bersalah karena tidak bisa menjaga adiknya dengan
baik. Dibalik lamunan kakaknya, tanpa sadar In Jung mulai membuka matanya
dengan perlahan dan melihat wajah kakaknya yang terlihat sedih.
Melihat mata adiknya yang terbuka,
In Yeong langsung mengomeli In Jung. “In Jung, kau tidak apa-apa? Apa ada yang
sakit lagi? Kalau kau keluar pakailah pakaian yang tebal, kakak sudah sering
bilang kan? Kau juga tidak membawa inhalasi.”
“Emm”
gumam In Jung sambil menganggukkan kepala.
“Hmm,
kalau begitu kakak pulang dulu mengambil beberapa baju dan akan kembali nanti.
Ya?” Ucap kakak In Jung lalu pergi meninggalkan ruangan.
In
Jung membuka matanya dan melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 10
malam. Kakaknya tertidur lelap di sofa, dengan hati-hati dia pergi meninggalkan
ruangan sambil menggerek infusnya dan mengambil beberapa koin diatas meja.
Merasa gerah dan kerongkongannya kering, In Jung mencari mesin minuman yang ada
d rumah sakit itu. Malam ini lorong begitu sepi hanya beberapa perawat saja
yang mondar mandir di beberapa kamar pasien lainnya. Tak berjalan jauh In Jung
menemukan mesin minuman dan memasukkan beberapa koin lalu memencet Cappuchino.
Beberapa detik kemudian mesin itu tidak mengeluarkan kaleng minumannya. In Jung
pun bingung dan memencet berkali-kali mesin itu tapi tetap saja tidak keluar.
“Butuh
bantuan?” Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut hitamnya yang sedikit
berantakan memakai pakaian pasien yang sama dengan In Jung sambil membawa tiang
infuse dan memegang kaleng minuman di tangan kanannya.
“Bruk..brukk..brukk.”
Laki-laki itu mengetuk dengan keras mesinnya dan sekaleng cappuchino pun
keluar. In Jung segera mengambilnya dan mengucapkan terimakasih.Sembaring
menikmati sekaleng cappuchino mereka duduk di samping mesin minuman itu dan mengobrol
bersama.
“Gamsahamnida,
tetapi bagaimana kau tahu kalu mesin itu bermasalah?” Tanya In Jung
“Sama-sama,
setiap malam jika tidak ketahuan keluarga atau suster yang mengenaliku aku
selalu mencari minuman disini. Aku sudah 5 hari berada dirumah sakit ini.”
“4
hari? Memangnya kau sakit apa?” dengan mata terbelalak In Jung bertanya
kembali.
Sejenak
laki-laki itu mengalihkan wajahnya dari In Jung sambil menghela nafas “Emm aku
sakit tipus.”
“Oh
ya? Aku juga sakit tipus dan aku tertidur seharian di kamar tadi. Hmm.. karena
aku haus dan gerah jadi aku pergi jalan-jalan. Hehehe, hmm maaf spertinya aku
terlalu banyak bicara ya?”
“Haha,
tidak juga. Sepertinya kau adalah anak yang ceria. Tunggu? Apa yang kau lakukan
di jalan tadi?” balas laki-laki itu dengan ramah.
“Aku
sedang sibuk memotret pemandangan di musim gugur ini. Tapi kenapa kau juga bisa
terkena tipus?”
“Hmm mungkin aku kelelahan saja,
kau bilang kau memotret? Apa hobimu sebagai fotografer?”
“Hehehe.. tidak juga, jangan
sebut aku sebagai fotografer. Aku ini masih amatiran. Hehehe.” Canda In Jung.
Malam itu mereka berdua mengobrol
dengan akrabnya, membicarakan diri mereka masing-masing. Jam sudah menunjukkan
angka 12 kurang 10 menit, mereka mengakhiri pembicaraan dan kembali ke kamar
masing-masing.
“Kamarmu nomor berapa?” Tanya
laki-laki itu.
“Oh kamarku? Kamarku.. aku tidak
tahu berapa, ahh gawat.. tapi sepertinya aku masih ingat jalan yang tadi aku
lalui.”
“Kalau begitu aku akan menemanimu
menemukan kamarmu.”
“Wahh terimakasih ya. Maaf kalau
membuatmu repot.”
Tak jauh setelah berjalan
melewati lorong-lorong mereka tiba di lorong ujung dan hanya ada 2 kamar yang
saling berhadapan.
“Sepertinya ini kamarku.” Ucap In
Jung.
“Kamarmu disini? Ini kamarku.”
Laki-laki itu menunjuk kamar yang berhadapan dengan kamar In Jung.
“Oh benarkah? Wahh kita
bertetangga ya.. kalau begitu aku masuk dulu ya.. terimakasih.”
“Eh tunggu!” hendak melangkahkan
kaki ke kamarnya In Jung langsung berbalik menghadap laki-laki itu. “Namamu?
Namamu siapa?” Tanya laki-laki itu.
“Oh iya, sangking asyiknya
mengobrol kita belum berkenalan yah. Namaku Cho In Jung. Namamu?”
“Namaku Kang Dong Ho. Senang
berjumpa denganmu.”
“Baiklah Kang Dong Ho, selamat
malam tetangga. Sampai bertemu lagi besok..” ucap ramah In Jung. Dong Ho hanya
bisa tersenyum memperhatikan gadis itu masuk dalam kamarnya. Malam itu Dong Ho
masih memikirkan In Jung, gadis yang baru dikenalnya dan membuat Dong Ho
terpesona dengan sifatnya yang ramah dan supel. Begitu juga dengan In Jung, In Jung
merasa laki-laki itu baik dan lembut juga jarang dijumpai olehnya. Hari demi
hari kurang lebih dua minggu mereka
menjadi akrab dan selalu bersama, In Jung menemui Dong Ho di kamarnya kadang
juga Dong Ho ke kamar In Jung.
“Dong Ho?” Sapa In Jung yang tiba-tiba
masuk ke dalam kamar Dong Ho.
“Oh In Jung-ah”
“Aku datang, hey kau berjanji
akan mengajakku ke suatu tempat. Dimana?”
“Hahaha, baiklah ayo kita
kesana.”
In Jung membantu Dong Ho
mendorong tiang infusnya memasuki lift dan menuju lantai yang paling atas.
Ketika mereka tiba, sebuah pintu terbuat dari besi dibuka oleh Dong Ho. Dengan
mata yang berbinar-binar In Jung terkejut melihat pemandangan kota dimalam hari
begitu indah. Lampu-lampu kota yang menerangi malam berkelip-kelip, ditambah
menara N tower yang begitu terang. In Jung tidak berhenti memandanginya.
“Maaf ya aku baru memberitahumu
sekarang, balkon ini tidak begitu luas tapi pemandangannya di malam hari begitu
indah.”
“Iya tidak apa-apa, ini sudah
cukup. Aku sangat senang sekali.”
“Jadi, apakah kau akan pergi ke
Belanda?”
“Iya pasti, aku sudah terpilih
menjadi peserta lomab fotografi itu. Hanya 2 minggu saja aku disana. Setelah 2
minggu itu aku akn langsung menemuimu. Aku janji, sekarang kau harus sembuh
dulu.”
“Kalau begitu, 2 minggu lagi tangal
18 Oktober kita bertemu di taman Namsan
jam 9 pagi. Bagaimana? Aku akan sembuh In Jung” nada tegas keluar dari mulut
Dong Ho.
“Tta..tapi Dong…” belum selesai
bicara tangan In Jung ditarik oleh Dong Ho. Dengan lembutnya Dong Ho mencium
bibir In Jung. In Jung merasakan bibir Dong Ho yang basah akan air matanya yang
menetes. Malam itu adalah malam yang indah bagi mereka, walaupun baru mengenal
selama 16 hari, mereka begitu yakin satu sama lain. 16 hari itu juga mereka
melewati hari-harinya bersama.
***
Dua
minggu kemudian tepat tanggal 18 Oktober In Jung tiba di Seoul jam 8 pagi. In
Jung bergegas menuju taman Namsan dengan membawa kameranya. Sekitar 30 menit
perjalanan dengan menaiki bus, dia pun sampai dengan semangat. In Jung
mengeluarkan kameranya dan memotret pemandangan sekitar. Di balik lensa
kameranya In Jung melihat banyak anak kecil yang sedang bermain,melihat
dedaunan yang jatuh hingga tak tersisa lagi diranting pohonnya,dan seseorang
yang berdiri bersandar di pohon itu. Seorang laki-laki mengenakan hem putih
yang begitu serasi dengan kulitnya yang putih bersih dipadukan dengan celana
jeans hitamnya semakin memperlihatkan tubuh gagahnya. “Klik..” In Jung memotret
laki-laki itu, baru beberapa detik In Jung melewatkan pandangannya laki-laki
itu sudah pergi.
“Hei.”Seorang
laki-laki dengan jari-jarinya yang panjang menepuk pundak kiri In Jung. In Jung
membalikkan badannya dan melebarkan matanya. Dia sungguh terkejut apa yang
dilihatnya. Laki-laki itu adalah Dong Ho. In Jung tersenyum bahagia melihat Dong
Ho begitu berbeda saat dia masih berada di rumah sakit dua minggu yang lalu.
“Hei,kau
berpakaian rapi sekali terlihat berbeda Dong Ho.” Kata In Jung yang masih belum
melepaskan pandangannya ke wajah Dong Ho.
“Tentu
saja aku harus berpakaian rapi, hari ini adalah D-day, bagaimana? Aku menepati
janjiku kan? Ayo kita pergi”
Pagi
itu mereka berdua berjalan menyusuri area taman yang tidak begitu ramai.
Bergandengan tangan, bercanda dan mengobrol sepuas hati mereka. Setelah itu In
Jung mengajak Dong Ho ke kedai es krim yang tak jauh dari area taman.
“Hari
ini aku yang traktir semua, ini balas budiku karena meninggalkanmu selama dua
minggu kemarin. Dong Ho, kita belum berfoto bersama.” Ajak In Jung.
In
Jung menggerek kursinya disamping kursi Dong Ho dan mulai berfoto bersama.
Orang-orang di dalam kedai tersebut sedikit menahan tawa dan membicarakan In
Jung.”Kenapa orang-orang melihat kita? Apa yang salah?” Tanya In Jung
“Karena
kau cantik.” Balas Dong Ho dengan senyuman manisnya. Muka In Jung langsung memerah
mendengar kata-kata Dong Ho itu.
Kurang lebih satu jam mereka
pergi meninggalkan kedai es krim dan pergi melihat film komedi. Bioskop
terlihat ramai dengan banyaknya orang yang antre di bagian tiket. Lalu mereka
melihat film komedi tersebut dengan senangnya sambil tertawa, Dong Ho yang
tersenyum mengalihkan pandangannya ke wajah In Jung yang tertawa. Begitu cantik
saat In Jung tertawa, membuat Dong Ho merasa bahagia sekali. Saat film usai
mereka pergi ke festival kuliner dan mencicipi setiap makanan yang dijual
disana. Tidak terasa malam pun tiba, saatny In Jung harus pulang karena
seharian dia belum bertemu dan membaritahu kakaknya kalau dia sudah pulang.
Tepat jam 7 lebih 30 menit In Jung dan Dong Ho naik bus menuju rumah In Jung,
sepanjang perjalanan In Jung menggenggam tangan Dong Ho dan bersandar di
pundaknya.
Sesampai di depan rumah In Jung,
Dong Ho ingin cepat pulang. “Kau yakin tidak ingin mampir dulu? Atau bertemu
kakakku sebentar?” Tawar In Jung.
“Hmm lain kali saja ya.. aku
harus segera pulang, terimakasih untuk hari ini In Jung.” Ucap Dong Ho lalu
mengecup kening In Jung. In Jung langsung tersenyum salah tingkah sambil
menggaruk-garuk lehernya.
“Baiklah kalau begitu,
terimakasih juga Dong Ho hari ini begitu menyenangkan bagiku.”
Dong Ho membalikkan badan dan
pergi menjauhi In Jung. In Jung yang masih berdiri terus memperhatikan Dong Ho yang
lama kelamaan sudah tak terlihat lagi.
“Aku pulang??” Suara In Jung
terdengar oleh kakaknya.
“Kemana saja seharian? Aku kira
pagi ini kau datang.”
“Maaf kak, seharusnya aku
memberitahu kakak dulu tapi tadi mendadak aku pergi bertemu Dong Ho.”
“Apa? Siapa? Dong Ho? Temanmu
yang dulu di rumah sakit itu?” Tanya kakak In Jung dengan serius
“Iya kak dia, aku pergi
bersamanya seharian. Aku pergi ke taman,makan es krim,menonton film dan pergi
ke food festival. Hari ini adalah hari yang sangat indah dan membahagiakan
dalam hidupku.”
“Apa? Tidak mungkin In Jung..
Dong Ho sudah meninggal karena kanker otaksaat kau berada di Belanda.”
“Hah? Kakak bercanda, ini lihat foto-foto
kami hari in.i. Lagi pula dia bukan terkena penyakit itu tapi tipus sama
sepertiku” Dengan cepat In Jung memperlihatkan foto-foto hsil jepretannya hari
ini bersama Dong Ho. Saat jari In Jung mulai memencet tombol preview, In Jung
terkejut bukan main, foto-foto itu sekedar foto biasa. Foto sebuah pohon tanpa
laki-laki berhem putih, foto In Jung yang sendiri di kedai es krim dan
foto-foto lainnya tanpa sesosok laki-laki itu. Tangan In Jung mulai gemetar, tubuhnya
lemas dan dadanya mulai sesak. Mata In Jung memerah dan membendung air matanya.
Kakaknya segera mengambilkan inhalasi untuk membantu pernapasan In Jung yang
mulai tidak beraturan.
“Tidak mungkin!” gumam In Jung
yang sudah tidak sanggup membendung air matanya. Dia segera bangkit dari
duduknya dan pergi mencari Dong Ho yang mungkin saja belum jauh pergi pikirnya.
In Jung terus meneriakkan nama Dong Ho, berharap laki-laki itu muncul dan
menghampirinya. Kakak In Jung yang tidak tega melihat adiknya seperti itu
segera mengambil mobil dan mengantarkannya ke rumah sakit saat In Jung dirawat
disana. Sesampai di rumah sakit In Jung berlari mencari suster yang merawat
Dong Ho. Setelah bertanya-tanya akhirnya dia bertemu dengan suster Jang.
“Oh teman Dong Ho ya? Sebelum
Dong Ho meninggal dia menitipkan ini untukmu. Saat kau bersamanya keadaananya
semakin membaik, dia menjadi orang yang lebih semangat untuk melawan kanker
yang bersarang di otaknya. Walaupun kemungkinannya kecil dia terus berusaha.
Aku kira dia akan terus hidup dan mengalahkan kanker itu. Dia berpesan kepadaku
untuk memberikannya setelah tanggal 18 oktober ini.” Suster Jang menjelaskan
semuanya.
In Jung yang hanya bisa melamun
dan mendengarkan cerita suster itu mulai beranjak pergi menuju lift dan naik ke
lantai paling atas. Air mata In Jung mengalir tetes demi tetes saat dia
berjalan ke balkon dan duduk membuka surat dari Dong Ho.
“Hai
putri periang.. Bagaimana? Aku menepati janjiku kan tanggal 18 oktober ini. Aku
selalu menunggumu. Sehari saja tidak bertemu denganmu rasanya begitu lama berada
di rumah sakit ini. In Jung maafkan aku ya.. Waktu itu aku berbohong tentang
penyakitku ini, aku tidak ingin orang-orang mendekatiku dengan rasa kasihan dan
terus mengucapkan kata-kata sabar dan semangat. Itu hanya akan membuat aku
menyesal. Tapi semenjak aku bertemu denganmu aku tidak merasakan sakit apapun.
Aku senang bisa memberikan ciuman pertamaku untukmu, butuh keberanian dan waktu
yang tepat untuk melakukannya.. hehehe.. In Jung aku tidak ingin kau menangis
memdengar ini. Aku ingin melihatmu selalu tersenyum dengan itulah aku merasa
bahagia ketika kematian datang menjemputku. Aku mencintaimu In Jung.. Biarkan
hari ini menjadi kenangan untuk kita berdua..”
Air mata In Jung semakin deras
membasahi wajahnya. Dia tidak kuat lagi menahannya, In Jung berteriak memanggil
nama Dong Ho. Dia merasa bodoh dan bersalah membiarkan Dong Ho menunggu
kedatangannya dan lebih naïf lagi In Jung sendiri tidak tahu kalau Dong Ho
terkena kanker otak. In Jung menjerit dan menangis di balkon itu sendirian
hingga tak kuat akhirnya dia pingsan. Keesokan harinya In Jung dengan wajah
bengak dan matanya yang merah pergi ke makam Dong Ho bersama kakaknya. Kali ini
In Jung tak mau menangis di depan makam Dong Ho, dia ingin lebih tabah menerima
apa yang menjadi takdirnya yaitu harus berpisah bersama Dong Ho.
“Terimakasih Dong Ho, selamat
tinggal dan aku juga mencintaimu. Walaupun hari itu kau menjadi malaikat
sementara untuk membuatku bahagia.” Ucap In Jung sambil meletakkan mawar putih
di atas makam Dong Ho. In Jung mulai meninggalkan makam Dong Ho dengan seutas
senyum dibibirnya.
The End
@fann10y